Siapa sangka di pinggir kali Ciliwung terdapat sisa kamp Jepang di Jakarta. Petir dan angin menyambut kedatangan aku pagi itu di Jalan Kramat no.7 yang memiliki bangunan bekas kamp konsentrasi atau kamp interniran jaman kekuasaan Jepang di Indonesia.
Sejarah Kamp Interniran
Awalnya aku nggak tahu, kamp interniran itu seperti apa. Ternyata ini adalah penjara untuk tahanan rumah. Orang-orang Asing di masa pendudukan Jepang dikumpulkan di sini, dalam bangunan yang seperti rumah. Akan tetapi namanya juga tahanan, pastilah segalanya dibatasi.
Kalau menyebut kamp konsentrasi kita barangkali terbayang di era Nazi, tapi yang di Jakarta ini nampaknya lebih layak. Jadi yang kudatangin adalah kamp yang di jalan Kramat no.7, suasana wilayahnya tentram dan damai bahkan di tahun 2023 sekalipun. Lingkunganya tertata, nampak bangunan-bangunan khas Eropa berdiri kokoh dan megah.
Untuk Warga Sipil non Yahudi
Konon kamp Interniran yang kukunjungi ini untuk warga sipil Belanda, untuk militer Belanda beda lagi. Kalau untuk umat Yahudi? Jepang tidak beridiologi Nazi, tetapi saat itu Jepang bersekuti dengan Jerman. Sehingga, kamp untuk umat Yahudi dipisahkan jauh yaitu di Tangerang.
Aku sengaja tidak menampilkan foto-foto kondisi jaman dulunya, saat para tawanan masih ada di sana. Terlalu painful sih, walaupun mungkin kita juga sebel sama penjajah. Namanya sesama manusia, ngga tega sih melihatnya.
Dari foto yang kusaksikan, kamp Jepang di jalan Kramat dikhususkan untuk wanita dan anak-anak. Sedih juga ya, sekeluarga bisa terpisah-pisah gitu. Ya namanya juga perang sih, kalau bareng-bareng jadinya staycation.
Selalu Dijaga Tentara Jepang
Meski bentuknya seperti rumah besar atau hotel malah, namun hidup orang-orang disana memprihatinkan. Tentara Jepang selalu berjaga, kebutuhan merekapun dijatah dengan sangat minim.
Kondisi Saat Ini
Kampung Orang Maluku
Saat ini kawasan Kramat 7 banyak dihuni orang asal Maluku, Timor, dan Minahasa. Mereka datang pada 1947 setelah Indonesia Merdeka. Ketika pagi itu aku melewati sebuah gereja GPIB Eben Haezer yang sedang melaksanakan misa, memang terlihat jelas wajah-wajah khas Maluku yang hadir di sana.
Jadi waktu itu ada anggapan bahwa orang Maluku, Timor, dan Minahasa adalah simpatisan Belanda. Untuk menyelamatkan diri, maka orang-orang Maluku, Minahasa dan Timor, yang bermukim di berbagai tempat di Jakarta, berduyun-duyun mengungsi ke wilayah Kramat.
Jadi, setelah Jepang kalah bekas kamp-kamp di Jalan Kramat digunakan oleh orang-orang Maluku yang ‘mengungsi’ akibat dipersekusi di daerah asalnya di Jakarta.
Wisma Dewanto
Salah satu bangunan di area Kramat 7 yang menarik bagiku adalah Wisma Dewanto. Bekas kamp interniran Jepang yang nampak masih megah selain tempat terapi wicara adalah bangunan ini.
Aslinya adalah sebuah rumah Belanda yang dibangun pada tahun 1909 oleh arsitek P. A. J. Moojen. Jadi ini bangunan apa sebenarnya? kok masih ada lalu lalang orang?
Wisma Dewanto adalah seminari tinggi atau disebut asrama mahasiswa untuk para frater (calon imam dalam gereja Katolik) dari ordo serikat Yesus yang sedang belajar filsafat di STF Driyarkara.
Nama Dewanto diambil dari nama seorang Imam yang bernama Romo Tarcisius Dewanto. Beliau wafat ketika terjadi pembunuhan masal para pengungsi di gereja St Maria Suai, Timor Leste.
Rumah di Ujung
Deretan bangunan khas belanda mencapai ujung jalan, ketika aku sampai pada sebuah rumah yang sepertinya dulunya sangat megah dengan halaman luas. Saat ini nampak tidak terurus, becek, dengan halaman dipenuhi pohon pisang.
Di dalamnya masih ada tanda-tanda kehidupan, namun aku tidak tahu sekarang ditinggali siapa dan untuk keperluan apa. Dengar-dengar sih lagi proses mau dijual.
Lokasi Kamp Jepang di Jakarta
Sisa kamp Jepang di Kramat 7 ini bukan termasuk cagar budaya, kalaukamu mau berkunjung sekadar melintas di jalanannya silakan tidak dipungut tiket. Lokasinya tak jauh dari IKJ serta Rumah Raden Saleh.
Wah itu rumah di ujung kayak serem tapi dihuni orang? Berarti rumah orang itu?
iya itu ada penghuninya dan katanya lagi prose mau dijual,,,