Junghuhn berkelana di jawa

Membaca catatan perjalanan seseorang yang berkeliling pulau Jawa lebih dari seabad lalu ini menjadi semacam refleksi buatku. Ternyata aktivitas yang dilandasi ketertarikan, dilakukan dengan niat, dicatat dengan baik, bisa sangat bermanfaat untuk berbagai bidang keilmuan hingga lintas zaman.

Tentang Buku Ini

Malik Ar-Rahiem menerjemahkan buku ini dengan serius, ngga sembarangan, selayaknya manusia yang sangat mengenal penulisnya. Aku merasa Junghuhn menuturkan semua ini dalam bahasa Indonesia versi tahun 2025, padahal dia menulis catatan ini dalam bahasa Jerman.

Junghuhn berkelana di jawa

Franz Junghun Berkelana di Pulau Jawa 1835-1839 menjadi judul versi bahasa Indonesia buku Topographische und naturwissenschaftliche Reise durch Java. Bukunya sangat tebal, penuh informasi geografi, geologi, sejarah, biologi, sketsa, bahkan lukisan. Tapi, karena cara Junghuhn menulis benar-benar dengan gaya bercerita …jadi ya mengalir saja.

Siapa Junghun?

Ternyata latar belakang beliau bukan termasuk yg biasa-biasa aja. Masa anak-remaja hingga awal dewasanya keras. Bahkan pernah mencoba S*word, pernah dipenjara. Namun impian gilanya dengan dunia tumbuhan bikin semangat hidup tak hanya menyala namun membawanya ke Hindia.

Berkelana di Jawa

Bagian awal buku menceritakan perjalanan laut Junghuhn dari Juni hingga Oktober 1835 guna mencapai pulau Jawa. Membosankan 4 bulan di kapal dengan kejutan-kejutan badainya. Tapi dia jadi bisa menikmati hal-hal kecil seperti mengamati burung, ikan, pelangi, atau senja.

Junghuhn menyebut pulau ‘onrust’ yg tak jauh dari Batavia: Keberadaan galangan kapal membuat pulau ini berbeda dengan yang lain. Pulau ini berpenghuni dengan beberapa bangunan dari batu bata. Ada 2 kapal perang yang sedang diperbaiki di pantai dengan bendera Belanda di tiangnya.

POV Junghuhn ketika pertama kali menginjakan kaki di Batavia pada Oktober 1835: “Bayangan atas segala kecantikan & keindahan sebagaimana yang dituliskan dalam begitu banyak catatan perjalanan, tidak bisa kutemukan”

Gedung AA Maramis, saat itu disebut ‘Gouvernementhuis’. Bangunan paling megah di kawasan ibukota baru. Junghuhn menceritakan ‘di lantai dasar terdapat tentara penjaga, kantor pos, dan beberapa sel penjara’. Nahhh,,malam pertama Junghuhn di Hindia Belanda dilewati di kamar lembab gedung ini.

Masuk bab 3, saat Junghuh pertama kali nyampe di Semarang. Pandangan dia katanya mirip ‘kaki perbukitas Atlas’. Setelah dari Semarang, Junghuhn ke arah Magelang via Salatiga untuk menuju Jogja. Fyi 1836 saat Junghuhn di Jogja itu artinya 6 tahun pasca perang Jawa. Maka ngga heran dia banyak nemuin reruntuhan entah istana, bangungan, termasuk Taman Sari.

Junghuhn juga main ke candi-candi seperti Kalasan, Prambanan, Ratu Boko. Cukup panjang explorasi dia di Jogja. Tapi yang aku mak ‘dheg’ dia bilang kalau tiap masuk kampung gitu orang-orang Jawa prepare ini dan itu…kayak org Jawa tu hormat banget sama perintah pemimpinnya. 

Junghuhn Mendaki 45 Gunung di Jawa

Franz Wilhelm Junghuhn tercatat mendaki 45 gunung di Jawa antara tahun 1835 dan 1839. Ia adalah seorang ilmuwan, penjelajah, dan “Dokter Gunung” asal Jerman yang menjelajahi dan meneliti alam di Hindia Belanda (Indonesia). 

Ngelilingin gunung di jawa barat, pakar mendaki tek tok sih Junghuhn ini. Dia naik gunung bukan buat healing ternyata, tapi buat explorasi sains. Botani, zoologi, geologi. Hasil temuanya termasuk potensi ‘minyak’ di daerah Cirebon dia kumpulin dan bawa ke museum di Batavia (yang sekarang museum nasional) buat diteliti.

1837 Junghuhn melakukan explorasi gunung di Jawa Timur. Jalur yg dilewati tentu saja jalur pos dari Weltevreden lalu ke Jawa Tengah. Dia ke gunung Ungaran juga. Setelah itu, pembahasan menuju ke gunung Lawu tempat si naturalis ini hampir binasa karena tersesat & kehabisan bekal.

Dari Lawu, Junghuhn menuju Magelang untuk selanjutnya mendaki Sindoro dan Sumbing. Ke Merapi lagi, seneng banget Junghuhn kesini. Lalu menyusuri Merbabu dan Wilis. Untuk selanjutnya, nama-nama gunungnya asing bagiku. Ada Gunung lumpur, ringgit, lemongan, dan Tengger. Dari Surabaya menuju Batavia, Junghuhn mampir dulu ke Dieng Via Pekalongan.

Lukisan Junghuhn menggambarkan dataran tinggi Dieng yang indah tapi aneh. Tiba-tiba ada candi..tiba-tiba ada kawah di tengah hutan. Dia ngga cerita soal geologis di daerah ini, karena sejarahnya emang ngga jelas. Di sisi lain, pembaca diajak menikmati Dieng bulan Agustus yang dingin. Tentu saja saat itu belum jadi objek wisata, bahkan rumah-rumah masih sangat sedikit.

Kalau sekarang kita googling ‘gunung Tagal’ ngga akan ketemu lokasinya. Tapi Junghuhn menyebut ini sebagai gunung Slamet. Menarik!! Sejak kapan ya nama ‘gunung Slamet’ menggantikan gunung Tagal? Sedangkan dalam catatan Bujangga Manik, gunung di dekat Pemalang ini disebut sebagai ‘gunung agung’.Katanya sih, nama gunung slamet baru ada sejak era Islam masuk pulau Jawa.

Gunung Gede Pangrango dibahas dalam bab khusus. Junghuhn sampai 4x naik gunung ini. Panjaaang banget deskripsi botanis di sini.

Penutup Perjalanan

Di bagian penutup rasanya sedih mengetahui Junghuhn yang jenuh di Weltevreden, apalagi saat bosnya meninggal lalu dia milih cuti 3 bulan ke Dieng. Habis itu dia ke Sumatra pindah dinas di sana.

Rekomendasi

Relaksing banget baca buku ini, apalagi kalau kamu pendaki…seru loh tahu jalur-jalur pendakian di zaman Hindia Belanda serta kondisi alam di masa itu. Aku jadi mikir

“selama aku jalan kesana-kemari beberapa tahun ini, apakah sudah berdampak? apakah akan dikenang hingga lintas generasi? setidaknya,,,apakah yang catatan perjalanan yang kubuat benar-benar dari hati selama ini?”

Mungkin ini saat yang tepat untuk me-reset pemikiran agar lebih berkesadaran saat melakukan perjalanan, lalu mendokumentasikanya sebaik-baiknya.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *